1. Josaphat TS Sumantyo Penumu Radar 3D
Josh telah lama mendalami bidang antena, sensor, dan radar. Totalitas dan dedikasinya di bidang ini membuatnya meraih berbagai penghargaan. Mulai dari Nanohana Venture Competition Award, Nanohana Competition Award, hingga Chiba University President Award (kesemuanya diselenggarakan oleh Chiba University).
Pada awal Maret 2010 lalu, ia juga menyabet penghargaan The Society of Instrument and Control Engineers (SICE) Remote Sensing Division Award. Anggota Society of Instrument and Control Engineers (SICE) sendiri adalah lembaga-lembaga besar seperti JAXA (lembaga antariksa Jepang), NICT (Institut Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi Jepang), NIES (Institut Nasional Studi Lingkungan), ISAS (Institut Ilmu Pengetahuan Antariksa dan Astronotikal), universitas-universitas, serta perusahaan-perusahaan besar perlengkapan antariksa Jepang mulai dari Mitsubishi, Toshiba, dan NEC.
Secara keseluruhan, Josh telah memiliki seratusan paten yang tersebar di 118 negara di dunia. Karya-karyanya sebagian telah dimanfaatkan oleh pelaku industri di Jepang dan di masa depan, akan diaplikasikan di bidang telekomunikasi, transportasi, penginderaan jarak jauh,kesehatan maupun miiliter.
1200 unit Radar cuaca buatannya akan digunakan oleh perusahaan Jepang Weathernews Corporation untuk mengirimkan informasi prediksi cuaca 3-Dimensi. Informasi ini nantinya juga digunakan untuk navigasi pesawat, kapal (alat transportasi massa) dengan lebih akurat. Ia juga tengah membuatkan radar anti bajak laut bagi kapal-kapal skala besar Jepang, maupun radar-radar untuk mobil yang melewati daerah bersalju.
Sebenarnya masih banyak lagi riset-risetnya yang bermanfaat dan sangat relevan dengan kebutuhan dalam negeri Indonesia. Antara lain risetnya di bidang pemantauan pergerakan lempeng serta pemantauan musibah dan manajemen bencana berbasis penginderaan jarak jauh.
“Riset ini dapat digunakan memonitor pergerakan permukaan bumi dengan akurasi milimeter, memonitor pergeseran permukaan bumi sebelum tanah longsor terjadi, atau pergerakan sesar atau patahan,” kata dia. Sayangnya, bukan Indonesia yang memanfaatkannya, justru negeri jiran yang menikmati hasil penelitian ini.
Riset ini justru menjadi salah satu bantuan teknologi pemerintah Jepang kepada pemerintah Malaysia untuk memetakan daerah-daerah rawan tanah longsor di Semanjung Malaysia yang proyeknya akan dilaksanakan selama tahun 2011-2016, melalui program Official Development Assistance (ODA).
1. 2. Johny Setiawan dan Planet Baru HIP 13044b
Johny, 36 tahun, besar di Bintaro Jakarta Selatan. Sejak 2003 menjadi peneliti di Max-Planck Institute for Astronomy di Heidelberg, Baden-Württemberg, Jerman. Profesinya sebagai astronom menuntutnya untuk sering melakukan kegiatan pengamatan dari ketinggian 2400 m di tengah gurun terpencil bersuhu ekstrim, di Observatorium La Silla Chile, yang merupakan salah satu observatorium terbesar dunia di belahan bumi bagian selatan.
Namun, kiprah Johny di negeri orang membuatnya kini begitu kondang di kancah astronomi internasional. Bila Anda ketik nama 'Johny Setiawan' di mesin telusur internet, indeks hasil pencarian akan memunculkan nama Johny di berbagai artikel media besar, mulai dari Time, New York Times, BBC, National Geographic, atau Space.com.
Sebagai seorang ilmuwan, penemuan Johny juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal bergengsi. Sebut saja Science, Nature, maupun Astronomy and Astrophysics. Ia adalah astronom Indonesia yang telah banyak menemukan planet berasal dari luar sistem tata surya kita (exoplanet), mulai dari planet bernama HD 47536 b, HD 11977 b, HD 47536 c, HD 70573 b, HD 110014 b, hingga TW Hydrae b.
Belakangan, November lalu, Johny dan tim yang ia pimpin, mempublikasikan hasil temuan planet yang tak hanya berasal dari luar sistem tata surya, tapi bahkan diperkirakan berasal dari luar galaksi Bima Sakti.
Planet itu diberi nama HIP 13044 b. Diperkirakan, itu adalah planet yang masih tersisa dari fosil galaksi lain yang telah punah, yakni fosil galaksi Helmi Stream, yang tersedot ke galaksi Bima Sakti antara 6-9 miliar tahun lalu, dan berada di sebelah selatan konstelasi Fornax.
Johny dan timnya berhasil menemukan planet ini menggunakan spektografi beresolusi tinggi FEROS, pada teleskop MPG/ ESO yang bergaris tengah 2.2 m di observatorium La Silla Chile. Dengan mengamati pergerakan radial bintang HIP 13044, diperkirakan planet HIP 13044 b mengitari bintang induknya itu dengan periode orbit 16,2 hari.
Planet yang jaraknya 2000 tahun cahaya dari bumi itu, masih bertahan hidup, di saat bintang induknya memasuki fase penuaan, atau dikenal dengan fase 'bintang raksasa merah'.
Fase ini ditandai dengan pendinginan bintang, dan mekarnya ukuran bintang itu menjadi ratusan kali lipat dari radius matahari. Oleh karenanya, bintang tua itu akan menarik, dan membakar planet-planet yang berada di sekelilingnya.
3. Dr. Warsito Penemu Alat Pemindai 4D
Dr. Warsito yang menemukan dan mengembangkan teknologi ECVT ini. Ilmuwan muslim dari Indonesia ini juga sebagai pemilik paten ECVT yang didaftarkan di dokumen paten AS. Dr. Warsito meraih gelar pendidikan S1 s.d S3 di Shizuoka University, Jepang. Dia adalah Ketua Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) dan Ketua Dewan Penasehat Institute for Science and Technology Studies (Istecs). Pernah meraih penghargaan Tokoh Muda Indonesia (Gatra, 2003) dan meraih penghargaan Yang Mengubah Indonesia (Tempo, 2006). Dr. Warsito mengembangkan teknologi ECVT di Center for Tomography Research Laboratory (CTECH Labs), sebuah laboratorium pada ruang berukuran 5 x 8 meter di sebuah ruko berlantai dua di Tangerang. CTECH boleh saja disebut laboratorium “kelas ruko”, tapi karya yang dihasilkannya sungguh “berkualitas ekspor”. Betapa tidak, CTECH di bawah pimpinan Warsito berhasil menciptakan alat pemindai empat dimensi (4D) pertama di dunia. Karyanya itu diluncurkan pertama kali di Koffolt Laboratories, Department of Chemical and Biomolecular Engineering, Ohio State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat, November lalu.
Ilmuwan Indonesia ini menciptakan pemindai empat dimensi pertama di dunia. Laboratoriumnya hanya ruko sederhana. Sangat diperlukan untuk industri perminyakan. Teknologi tersebut adalah teknologi ECVT (electrical capacitance volume tomography). ECVT adalah sistem pemindai berbasis medan listrik statis yang mampu menghasilkan citra obyek volumetrik dan real time (seketika). Pada dasarnya, teknologi ECVT adalah teknologi scanning atau fotokopi yang bisa melihat secara real time dan 3 dimensi gerak bahan di dalam boiler, reaktor industri, pipa, dsb, meskipun bertekanan dan bersuhu tinggi. Teknologi ECVT bisa diterapkan di berbagai bidang mulai dari bidang industri, kedokteran, pertambangan, proses kimia, body scan untuk keperluan security, pencitraan aktifitas di dalam gunung berapi atau semburan lumpur panas, dll.
Teknologi tersebut kini dipakai oleh Badan Antariksa Amerika Serikat atau National Aeronautics and Space Administration (NASA). “Guna penerapan pada pemindaian obyek dielektrika pada saat misi antariksanya,” demikian tulis editorial jurnal Industrial and Engineering Chemistry Research edisi Januari 2009, yang diterbitkan oleh American Chemical Society. NASA, dalam jurnalnya yang dipublikasikan di Measurement Science and Technology yang terbit di Inggris, menyatakan telah memanfaatkan teknologi ECVT untuk memindai keberadaan air di permukaan luar pelapis sistem pelindung panas pada dinding pesawat ulang-aliknya. Teknologi ECVT mampu menghasilkan citra volumetrik dan real time dari konsentrasi air yang terakumulasi pada dinding luar pesawat ulang-alik.
1. 4. Dr Eng Eniya Listiani Dewi Temuan Membran Sel Bahan Bakar
Dia adalah Dr Eng Eniya Listiani Dewi, peneliti madya pada Pusat Teknologi Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Ia menempuh studi S1 hingga S3 di Waseda University Tokyo Jepang, Dewi memilih bidang Kimia Terapan, dan mendalami studi tentang polimer dan katalis untuk fuel cell. Penemuannya terhadap katalis fuel cell baru yang menggunakan unsur Vanadium, membuatnya mendapat penghargaan Mizuno Award, dan Koukenkai Award dari universitasnya, pada 2003.
Setelah menggondol gelar Doctor of Engineering dari Waseda University, Dewi pulang ke Indonesia. Dia lalu bergabung dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pertama kali datang, Dewi sempat syok menghadapi kultur kerja yang begitu lamban. “Di sini banyak yang leha-leha. Itu bikin stress.” Padahal, ia biasa kerja cepat, terencana dengan target.
Fuel cell adalah sel elektrokimia semacam baterai atau aki, yang dapat mengkonversi sumber bahan bakar (bisa berupa hidrogen atau hidrokarbon) menjadi listrik arus searah (DC). Fuel cell bisa digunakan menyuplai listrik rumah tangga, mobil, motor, dan lain sebagainya.
Yang paling mutakhir adalah hasil penelitian Dewi yang melahirkan sebuah produk membran polimer untuk fuel cell yang lebih efisien dari membran yang tersedia di pasaran. Produk membran itu dia namakan ThamriON. Produk itu punya efisiensi lebih baik, karena mampu mengurangi kebocoran hingga 50 persen.
Sementara dari sisi harga, Thamrion jauh lebih bersaing. Bila membran Nafion besutan perusahaan kimia ketiga terbesar dunia, DuPont, dijual sekitar US$ 1000 atau sekitar Rp 9 juta per meter persegi, ThamriOn hanya dibanderol Rp 2000 per meter persegi. Nama ThamriON sendiri merupakan gabungan dari kata ‘Thamrin’ dan ‘Ion’, dipilih untuk mengabadikan alamat kantor Dewi, Gedung BPPT yang terletak di Jl MH Thamrin Jakarta Pusat.
Membran itu mulai dikembangkan sejak 2006, dapat dibuat dari plastik Acrylonitrile Butadiene Styrene yang bersifat isolator. Polimer itu kemudian disulfunasi dengan asam sulfat, sehingga bisa disulap menjadi bahan konduktor. Dengan menambahkan bahan tadi dengan nanopartikel, ThamriON dapat menjadi membran fuel cell yang sangat efisien.
Belakangan, metode penambahan nanopartikel itu berhasil meraih penghargaan Asia Excellence Award dari The Society of Polymer Science Japan (SPSJ) pada 2009. Tahun berikutnya, ThamriON dipatenkan, dan berhasil menyabet penghargaan Inovasi HKI 2010 Award dari Direktorat Jendral HKI.
Seiring berbagai penghargaan diraihnya, perhatian BPPT terhadap pengembangan fuel cell dan bahan bakar hidrogen pun makin besar.
Bila di tahun-tahun pertama, proyek riset dan pengembangan fuel cell masih berskala kecil, jumlah tim dan bujet dana terbatas, anggaran riset berikutnya bisa sepuluh kali lipat lebih besar. Para peneliti yang disertakan kian banyak, dan lintas bidang.
“Fuel cell memang kajian yang membutuhkan keahlian dari beragam latar belakang,” kata istri dari Wahyu Widada itu. Dari sisi manufaktur, diperlukan keahlian di bidang teknik mesin. Dari sisi kontrol dibutuhkan keahlian di bidang teknik elektro, sementara proses kimianya sendiri membutuhkan keahlian di bidang teknik kimia.
Sekarang, BPPT telah bersiap meningkatkan penelitian fuel cell dari skala kebutuhan energi rumah tangga ke fuel cell yang mampu beroperasi di suhu tinggi dengan skala yang lebih besar.
5. Rahmat Hidayat Penemu Susu Anti Flu Burung
Sejak 2009, Rahmat memimpin tim dari FKH-IPB untuk meneliti formula anti-flu burung dan anti-diare. Hasil penelitian mereka pada tahun pertama memproduksi Imunoglobulin Yolk (Ig Y) anti flu burung, dan anti diare yang dibuat dalam tiga rupa, yaitu spray dry kuning telur, freezer dry kuning telur, dan ekstrak murni.
Produksi Ig Y diawali dengan perlakuan pada ayam petelur berupa vaksinasi sebanyak empat kali selama empat minggu. Vaksin yang digunakan berupa H5N1 pada minggu pertama dan ketiga, sedangkan Escherichia coli dan Salmonella enteritidis digunakan setiap minggu/
Selanjutnya, serum dan kuning telur dikoleksi dan diperiksa keberadaan Ig Y anti ketiga agen tersebut sejak minggu pertama pasca vaksinasi terakhir. Metode pemeriksaan untuk E coli dan S enteritidis adalah Agar Gel Presipitation Test (AGPT) sedangkan H5N1 metode Haemegglutination Inhibition (HI).
Bersama timnya, Rahmat Hidayat menggeluti riset yang sangat berguna bagi anak-anak, dan kaum lanjut usia. Peneliti itu sedang meracik bahan susu formula baru.
Susu formula itu akan menjadi penangkal diare, sekaligus anti flu burung, dua jenis penyakit yang terus menghantui masyarakat Indonesia. Dalam setahun, Rahmat berhasil menemukan Imunoglobulin Yolk dari kuning telor, yang tak mengubah rasa, warna dan bau susu. "Formula itu bisa mencegah dua jenis diare yakni akibat bakteri Escherichia coli dan Salmonella Enteritidis.
0 comments:
Post a Comment
Berita Terkait: