Tim  Turangga Seta yang melakukan penggalian di Gunung Lalakon,  Soreang,  Bandung, Jawa Barat, sejak Senin pekan ini berhasil menemukan  beberapa  batu boulder yang mereka duga batu penutup bangunan piramida. Batu-batu boulder  itu ditemukan di lubang penggalian dengan  lebar sekitar 3 meter,  panjang 5 meter, dan kedalaman hingga 4 meter,  yang terletak di  koordinat 6° 57,5' Lintang Selatan, 107° 31,239' Bujur  Timur, serta  ketinggian 986 meter di atas permukaan laut. Batu-batu boulder tersebut  panjangnya bervariasi, antara 1,1  meter hingga 2 meter, dengan besar  yang kurang lebih sama, yakni  selebar 30-40 sentimeter (cm) serta  tersusun rapi dan teratur. 
Tak heran isue ini membawakan para arkeolog untuk berkumpul di Gunung Lalakon,  para arkeolog berusaha membuktikan kebenaran adanya piramida Indonesia yang tertanam dalam perut gunung Lalakon, simak cerita Membongkar isi perut gunung lalakon hasil sorotan vivanews.com dibawah ini.
Stadion Si Jalak Harupat terlihat samar-samar. Dari ketinggian 986  meter di atas permukaan laut, stadion berkapasitas 40 ribu orang itu  terlihat hanya sebesar ujung jari, di antara luasnya hamparan wilayah  Soreang Bandung Jawa Barat. 
Rabu 16 Maret 2011, siang itu, udara cerah menaungi puncak Gunung  Lalakon. Semilir angin sesekali mengembus perlahan, menawar terik yang  mulai menyengat. Tapi belasan orang terlihat masih semangat bekerja di  sebuah lubang sepanjang 5 meter, selebar 3 meter, dan sedalam 4 meter. 
Seorang mencangkul, dua orang mengangkut sisa tanah dengan karung,  dua orang lagi menyambut karung itu, mengopernya lagi secara estafet ke  dua orang di atasnya hingga tanah berlabuh di gundukan tak jauh dari  lubang penggalian.
Biasanya hanya dua orang yang biasa mangkal di puncak gunung, yakni para penjaga menara base transceiver station  (BTS). Tak banyak orang yang naik kesitu, mengingat medan yang lumayan  menanjak, dan butuh sekitar 1 jam untuk sampai ke lokasi itu.   
Namun, sejak Senin 14 Maret 2011, belasan anggota komunitas pecinta  sejarah nusantara Turangga Seta melakukan penggalian untuk membuktikan keberadaan bangunan piramida di bawah Gunung Lalakon, seperti yang telah mereka yakini sebelumnya.
Keyakinan yang membuncah pada diri mereka tak datang begitu saja. Tak hanya berbekal wangsit  dari 'leluhur', awal Februari lalu, bersama tim peneliti terdiri para  pakar geologi kawakan: Danny Hilman Natawidjaja, Eko Yulianto, dan  Andang Bachtiar, melakukan uji geo listrik di beberapa bukit, termasuk  di Gunung Lalakon dan Gunung Sadahurip.
Hasilnya, salah satu anggota tim peneliti yang notabene merupakan  pakar geologi senior, Andang Bachtiar, mengatakan hasil uji geolistrik  menemukan struktur yang tidak alamiah. "Selama ini saya tidak pernah  menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah - red)," katanya.
Sementara itu, Lutfi Yondri dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional  (Puslit A
rkenas) Balai Arkeologi Bandung, yang telah melihat uji  geolistrik itu, secara selintas memperkirakan struktur di Gunung Lalakon  dan Sadahurip bukan mirip piramida melainkan struktur teras piramid.
"Dari peta geolistriknya yang baru satu lintasan, saya baru melihat  teras-teras. Kalau teras-teras yang diketemukan, saya cenderung  mengatakan itu teras piramid," kata Lutfi. 
Menurut Lutfi, di Indonesia ada bangunan teras piramid peninggalan  megalitik yakni Lebak Cibedug, yang terletak di Desa Citorek Barat,  Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Namun, kata Lutfi, dari nomenklatur arsitektur maupun arkeologi,  klaim keberadaan piramida sudah tidak tepat. Hasil pembacaan geolistrik,  kata dia, juga mengatakan itu bukan piramida. "Dari hasil geolistrik,  berbentuk tangga. Itu sudah berbeda. Namun hal ini penting  ditindaklanjuti."
                                                          ***
Berbekal pendapat Andang tadi, Turangga Seta tak sabar segera  membuktikannya. Karena merasa respon Puslit Arkenas kurang, maka  Turangga Seta melakukan penggalian sendiri. 
Hingga kini, mereka memang belum menemukan bangunan piramida yang  mereka cari. Setidaknya, penggalian berjalan lancar, berada di jalur  yang sudah mereka perkirakan sebelumnya, sesuai hasil uji geolistrik  yang mereka dapatkan.
Di bawah lapisan permukaan (top soil) mereka menemukan batuan-batuan boulder  andesit di kedalaman 1 - 1,6 meter. Setelah itu lapisan batu cadas  sedalam 20 cm, kemudian tanah beserta lempung sedalam 20 cm, kemudian  batu cadas lagi, hingga akhirnya ditemukan lagi batuan boulder andesit di kedalaman sekitar 3,5 meter.
Batu-batu boulder yang ditemukan, mereka perkirakan  merupakan batu-batu bronjongan penutup bangunan piramida. Batu-batu itu  memiliki ukuran yang kurang lebih sama, panjang antara 1 - 2 meter,  dengan lebar dan ketebalan 30-50 cm. 
Kebetulan atau tidak, batu-batu boulder itu berjejer rapi membentuk  sudut sekitar 30 derajat dengan garis horizontal. Pendiri kelompok  Turangga Seta Agung Bimo Sutedjo memperkirakan, batu-batu tadi sengaja  dipasang demikian untuk memperkuat lapisan tanah penutup bangunan  piramida, agar tidak longsor.

"Bronjongan-bronjongan tadi seolah-olah tersusun secara teratur  dengan sudut kemiringan 30 derajat. Bahasa kaki limanya, seolah-olah tak  datang seenak jidatnya. Siapa yang mengatur? Wallahua'lam bish shawab,"  ujar Engkon Kertapati, peneliti Pusat Survei Geologi Badan Geologi  Departemen ESDM Bandung, yang datang ke lokasi penggalian, Rabu 16 Maret  2011.
Engkon tidak menampik bahwa mungkin memang ada campur tangan atau ada  gaya-gaya di luar kemampuan alamiah yang menyebabkan batu-batu bronjong  tadi tersusun secara seragam.  
Namun, ia juga tidak menutup kemungkinan bila batuan andesit di  Gunung Lalakon mengalami pelapukan secara alamiah sehingga secara  'kebetulan' membentuk batu-batu andesit padat yang seolah-olah berbaris  sejajar ke arah sudut kemiringan 30 derajat. 
                                                          ***
Agaknya, tak cuma Engkon yang tertarik meneliti Gunung Lalakon. Kamis  17 Maret 2011, pakar geologi yang terkenal sebagai pakar gempa Padang  dan Mentawai, Danny Hilman dan Eko Yulianto juga datang ke puncak Gunung  Lalakon.
Namun, tak seperti Engkon yang masih membuka kemungkinan bahwa batu-batu boulder  yang ditemukan seperti ditata secara sengaja, Danny dan Eko justru  berpendapat bahwa 'batu-batu bronjongan' tadi belum membuktikan  apa-apa. 
"Mana yang aneh? Ini hal yang biasa dalam geologi," kata Danny kepada VIVAnews,  di puncak Lalakon, Kamis 17 Maret 2011. Menurut Danny batu-batu boulder  besar yang tersusun berjejer itu adalah endapan lahar dari gunung  berapi. 
Danny menambahkan, secara sekilas, batu-batu itu bisa dikatakan merupakan joint atau kekar yang merupakan rekahan batuan yang terbentuk teratur karena pelapukan alami.
Saat ditanya komentarnya tentang hasil uji geolistrik yang menemukan  struktur yang mirip dengan bentuk piramid, Danny mengatakan bahwa hasil  uji itu tidak bisa diinterpretasikan begitu saja. Sebab, tetap harus  diuji dengan metode lain.
"Geolistrik itu kan pemodelan dari perekaman sifat resistivitas  batuan. Tapi itu bukan seperti uji seismik, yang memantulkan apa yang  ada didalam, ini sinyal resistivitas," kata Danny. 
Sementara itu, menurut Engkon, hasil uji geolistrik Gunung Lalakon  memang seolah-olah menunjukkan suatu struktur lapisan yang teratur.  Terdapat lapisan batuan yang keras dan lebih lunak, dan membentuk pola  yang berulang. 
Namun, ia mengingatkan bahwa geolistrik hanya mengukur resistivitas  batuan, tapi tidak memastikan tipe batuan. "Boleh jadi resistivitasnya  sama. Tapi belum tentu jenis batuannya juga sama," katanya.
                                                          ***
Sejak Rabu 16 Maret 2011 sore, tim Turangga Seta telah mengakhiri  penggalian mereka. Selain telah kehabisan logistik dan 'amunisi', surat  ijin dari pemerintah setempat juga telah berakhir. "Kami istirahat dulu,  sambil mengumpulkan kekuatan," kata Agung.
Selanjutnya, mereka juga telah meminta Puslit Arkenas untuk memeriksa  lokasi penggalian mereka. Lutfi berjanji, Puslit Arkenas akan  menyambangi puncak Gunung Lalakon akhir pekan ini.
Setidaknya, dari berbagai pendapat tadi, baik Danny Hilman, Engkon,  maupun Lutfi sepakat dalam satu hal. Idealnya memang perlu ada  penggalian lebih lanjut untuk memastikan ada tidaknya bangunan piramida  di tempat itu. 
Namun, Danny mengingatkan bahwa lubang penggalian yang jaraknya  sekitar 7 meter dari menara BTS, cukup riskan. "Agak berbahaya ini,"  katanya. Menurut Engkon, penggalian masih bisa dilakukan dengan membuat  sebuah dinding penguat di sisi terdekat dengan menara. 
Selain itu, kata dia, penggalian sebaiknya dilakukan terus ke bawah,  tapi tidak mengarah ke lokasi menara. Dari hasil uji geolistrik, Engkon  memperkirakan struktur batuan keras atau bangunan yang dicari-cari akan  bisa ditemui sekitar 2 meter di bawah permukaan dasar lubang gali. 
 "Untuk memastikan hasil uji geolistrik tadi, kita harus terus gali ke  bawah. Insya Allah kita akan menemukan batuan keras yang kita  cari-cari," kata Engkon.

01:54
Warung Sistem Informasi





2 comments:
mantap nich ... mulai diteliti fenomenanya..
kalau emang itu kebenaran brarti bener dunk..Indonesia pemilik piramida terbesar di dunia :)
Menurut Insting atau Feeling Spiritual saya , Tempat tsb merupakan tempat pemujaan Nenek moyang kita, meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana
Wong Cie Liek
Post a Comment
Berita Terkait: