Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari. (wikipedia)
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.
Tak banyak yang tahu, peradaban bangsa kita di masa lalu menghasilkan sebuah epos, hikayat, yang tak kalah dari Ramayana dan Mahabharata. Namanya, Sureq I La Galigo atau La Galigo. Ini adalah epos terpanjang di dunia, karya agung dari peradaban Bugis.
La Galigo justru tenar di luar negeri melalui pementasan teater I La Galigo'. Pentas perdana di Singapura pada tahun 2003, La Galigo keliling dunia, dipentaskan di kota-kota besar dunia: Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei sepanjang tahun 2003-2008.
Pada 2005, La Galigo sempat 'pulang' dengan pementasan di Teater Tanah Airku di Jakarta. Namun, belum pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di Sulawesi Selatan -- tanah kelahirannya.
Untuk itulah, tokoh dari Sulsel, Tanri Abeng punya gagasan untuk mementaskan La Galigo di Makassar. "Pementasan di Makassar adalah persembahan kembali kepada masyarakat Sulawesi Selatan," kata dia, dalam rilis yang diterima VIVAnews.com.
La Galigo justru tenar di luar negeri melalui pementasan teater I La Galigo'. Pentas perdana di Singapura pada tahun 2003, La Galigo keliling dunia, dipentaskan di kota-kota besar dunia: Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei sepanjang tahun 2003-2008.
Pada 2005, La Galigo sempat 'pulang' dengan pementasan di Teater Tanah Airku di Jakarta. Namun, belum pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di Sulawesi Selatan -- tanah kelahirannya.
Untuk itulah, tokoh dari Sulsel, Tanri Abeng punya gagasan untuk mementaskan La Galigo di Makassar. "Pementasan di Makassar adalah persembahan kembali kepada masyarakat Sulawesi Selatan," kata dia, dalam rilis yang diterima VIVAnews.com.
Pentas La Galigo akan diselenggarakan di Benteng Rotterdam, Makassar pada 23-24 April 2011.
Berbeda dengan pementasannya di luar negeri, La Galigo di Makassar akan melibatkan banyak seniman Sulawesi Selatan. Pemainnya pun banyak dari Sulsel. Diharapkan nantinya, La Galigo bisa dipentaskan secara rutin di kota ini. "Ke depan, segala informasi yang berkenaan dengan Sureq Galigo maupun seni pertunjukkannya mesti bisa didapat di sini, tak harus di luar negeri," kata Tantri Abeng, berharap.
La Galigo adalah hikayat kepahlawanan: menceritakan seorang pahlawan bernama, Sawerigading, putra penguasa dunia tengah. Sementara, I La Galigo merupakan salah seorang putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah.
La Galigo berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Mungkin karena itulah, hanya sedikit orang yang bisa memahaminya. Atas jasa seorang pembaca lontarak (aksara Bugis), Muhammad Salim, naskah itu diterjemahkan sebagian ke Bahasa Indonesia, lalu Bahasa Inggris.
Tanpa kerja kerasnya Muhammad Salim, Galigo tak lebih dari sekedar manuskrip tua tak dikenal yang berujung pada kepunahan. Sayang, ia tak sempat menuntaskan mimpinya, menerjemahkah La Galigo, baru dua dari 12 naskah yang sempat ia sulih. Sang penyelamat budaya itu telah berpulang ke Rahmatullah, Minggu, 27 Maret 2011.
La Galigo adalah hikayat kepahlawanan: menceritakan seorang pahlawan bernama, Sawerigading, putra penguasa dunia tengah. Sementara, I La Galigo merupakan salah seorang putra Sawerigading yang mewarisi kesaktian dan jiwa pengembara sang ayah.
La Galigo berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Mungkin karena itulah, hanya sedikit orang yang bisa memahaminya. Atas jasa seorang pembaca lontarak (aksara Bugis), Muhammad Salim, naskah itu diterjemahkan sebagian ke Bahasa Indonesia, lalu Bahasa Inggris.
Tanpa kerja kerasnya Muhammad Salim, Galigo tak lebih dari sekedar manuskrip tua tak dikenal yang berujung pada kepunahan. Sayang, ia tak sempat menuntaskan mimpinya, menerjemahkah La Galigo, baru dua dari 12 naskah yang sempat ia sulih. Sang penyelamat budaya itu telah berpulang ke Rahmatullah, Minggu, 27 Maret 2011.
sumber : vivanews, wikipedia.
0 comments:
Post a Comment
Berita Terkait: